Senin, 09 Juni 2008

Menikah..

"Kenapa sih Kakak nggak menikah dan punya adik saja?, " ujar anak terkecil kami. Kalau ia sudah mulai membolak-balik gambar buku biasanya ada bom pertanyaan yang tak terdugaKamis, 3 November 2005.
Buku favorit Azka (5 tahun) sejak setahun lalu adalah khazanah tentang tubuh manusia. Bagian yang paling menarik perhatiannya ialah gambar alat reproduksi pria dan wanita.Karena minatnya itu, dia pernah bikin geger sebuah toko karena menyingkap sarung yang dikenakan sesosok manequin. Lalu diraba-rabanya bagian yang ia duga sebagai lokasi “anu”. Orang yang melihatnya terkekeh-kekeh.Istriku pelan-pelan mendekati, lalu betanya dengan lembut, “Azka cari ‘penis’ ya?”Ia mengangguk, wajahnya serius setengah mati.“Ada nggak?” tanya istriku lagi. Ia berbisik sambil menyodorkan kelingkingnya, “Ada, tapi kecil, Bu.”
Kalau ia sudah mulai membolak-balik dan meneliti gambar-gambar di buku itu dengan telunjuk mungilnya, biasanya ada bom pertanyaan yang tak terduga.“Pak!” katanya suatu kali.“Yes, Nak.”Ia berbaring miring. Pelipisnya disangga telapak tangan dan sikunya, lalu memandangiku.“Kenapa sih Kakak nggak menikah dan punya adik saja?”
Ia pernah mendapat penjelasan, menikah dulu, baru seorang wanita akan punya anak di rahimnya. Jika tidak menikah dulu, haram.“Well, insya Allah, Kakak akan segera menikah. Sekitar mm… 7 tahun lagi kali ya.”“Tujuh tahun? Yaah, masih lama!” katanya“Ah, 7 tahun itu sebentar, hanya 7 kali Ramadhan dan 7 Kali shalat Idul Fitri.”“Kenapa sih 7 tahun? Sekarang aja, Pak!”“Sekarang usia Kakak baru 14 tahun. Masih harus banyak belajar.”
“Nanti 7 tahun lagi Kakak menikahnya gimana, Pak?”Ini dia pertanyaan tersulit.“Begini, suatu hari nanti, akan ada seorang laki-laki yang datang ke Bapak. Lalu dia bilang begini, ‘Pak, bolehkah saya menikahi anak Bapak yang bernama Adzkia?’ Lalu Bapak akan bertanya, ‘Apakah kamu seorang Muslim? Apakah kamu bisa mencari nafkah? Apakah kamu sehat lahir batin? Apakah kamu tahu Allah akan meminta tanggung jawab sebagai suami nanti di akhirat?’ Kalau dia menjawab, ‘Ya,” bapak akan bilang begini, ‘Beri saya waktu ya. Nanti akan saya panggil lagi. Sementara ini, tolong jauhi putriku. Dia bukan muhrim kamu’.”
Sampai di sini saya sengaja memberi jeda, menghela nafas. Lalu diam. Sampai Adzka memburu lagi, “Terus, Pak?”“Terus, Bapak akan menggunakan segala cara untuk mengenal laki-laki ini. Siapa orangtuanya. Berbaktikah dia pada orangtuanya atau durhaka. Di mana masjid tempatnya shalat berjamaah 5 waktu. Siapa ustadznya. Selalu membaca Al-Qur`ankah dia. Bagaimana ia mencari nafkah. Jujur atau pendusta. Akhlaqnya mulia atau tercela. Teman-temannya shalihin atau tukang maksiat. Pokoknya semua.” Pada bagian ini mata Azka berbinar-binar.“Nah, kalau dia laki-laki shalih, Bapak akan shalat istikharah. Minta petunjuk Allah, apakah orang ini pas untuk jadi suami Kakak atau tidak.”
“Terus Allah nanti ngasih tahu Bapak?”“Iya.”“Terus, Kakak menikah? Terus punya adik?”“Insya Allah, kalau orangnya disukai Allah, Bapak juga suka.”Beberapa hari kemudian, istriku melapor, “Azka minta diajari shalat istikharah, untuk menentukan apakah dia akan menikah dengan Bapak atau Eyang Kakungnya.”

Tidak ada komentar: