Senin, 09 Juni 2008

Ketika Siang Menyambut..

Ketika Siang Senyambut….
Wajahnya oval natural, pakaianya sopan kasual, dengan kerudung membalut sopan nan menawan. Ia adalah mahasiswi tingkat tiga disebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta, dengan indeks prestasi yang cukup membanggakan. Ia biasa bicara dengan wajah yang tenang namun menantang, matanya berkaca-kaca dan membakar ketika bicara diforum-forum umum, tak kenal dosen, ketua jurusan atau bahkan rektornya. Bahkan ia membaur dan menjadi makmum bersama rekan-rekan organisasional. Konon, ia juga menjadi pembimbing beberapa remaja di SMU terkenal. Namun diam-diam ia juga menghabiskan waktunya dengan merajut dan menganya.
Siapapun dia, gadis itu bisa dipanggil madu, yang cantik, sopan, supel, cerdas dan sangat feminim walau terkadang mudah ngambek. Hanya sedikit orang yang tau bahwa di suatu sore ia datang kepada kakak sepupunya dan melakukan aktifitas seperti perempuan lain; curhat. Disana ia mengatakan bahwa saat ini ia sedang dirudung keresahan yang sangat. Dan sehebat apapaun dia, diam-diam hatinya terusik oleh kehadiran pujaan. Saya hanya bisa berkata: Anda sedang jatuh cinta!!! Selamat. Mungkin, dedauan tiba-tiba menjadi hijau dari biasanya. Atau tanpa sadar hidup Anda menjadi bersinar meskipun aktifitas yang dulu begitu padat tidak dapat dilakukan.
Jatuh cinta yang baik; kabarnya, membuat empunya menjadi lebih baik, lebih semangat, lebih pengasih dan bahkan juga lebih mudah memaafkan. Seorang mahasiswi yang sedang jatuh cinta bahkan ia merasa bahwa pepohonan hijau ditepi jalan menuju kampusnya, yang ia lewati belasan kali, dengan desingan knalpot dan padatnya jalanan, tiba-tiba tersenyum dan mengirimkan tasbih yang bergemuruh bersama desir angin.
Dalam perspektif positif, cinta, seperti pesan yang tersirat dalam do’a Baginda ketika menikahkan putri kesayangannya adalah bagaikan mengumpulkan yang terserak dan mengokohkan yang telah bersatu diantara dua subjek.
Hal itulah sedang dilanda oleh seorang mahasiswi tadi, hingga ia datang bercerita tentang cintanya. Memang cinta bukanlah pakanan murahan yang bisa ditemukan dimana saja. Cinta menawarkan totalitas yang menyeluruh, hancur dan abadinya adalah tergantung dari subjek perawatnya. Kompleksitas dan kepelikan yang datang akan tertepis dan menipis jika kesadaran pencinta menggelembung. Ah ternyata cuma satu kata yang ringan; TULUS.
Ngomong-ngomong soal cinta sepasang manusia, desir angin dan letupan gunung galunggungpun tak akan sanggup menerangkan. Ia adalah sepasang mata yang menerobos alam maya. Ia adalah pemberian tanpa pamrih; hancur. Bicara soal cinta sayapun akan berkata kepada calon cintaku. “Apakah kamu akan menerima cintaku yang tanpa batas?”. Saya yakin ia akan kembali bertanya: “cinta tanpa batas yang bagaimana yang dimaksudkan?”. Saya akan segera manjawab: “cinta yang didalamnya tidak hanya terdapat ekspresi kelemahlembutan tetapi juga kekerasan”.
Saya tidak tahu apakah calon cintaku itu akan menerima dan menjadikan aku sebagai cintanya atau bahkan akan meninggalkan? Karena sepasang kekasih bisa saja menjadi buta karena cinta. Rasa memiliki pasangan yang berlebihan, apalagi sebaliknya. Bisa menjadikan sepasang kekasih yang semula menemukan madunya cinta berubah menjadi sepah yang berakibat sakit yang tak berujung. Lagi-lagi sayapun hanya bisa bicara: “Bagaimana Kalau Coba Kita IHKLAS??”
Yah …mungkin hanya itu yang bisa saya katakan kepada diri saya sendiri.… Sekalipun cinta adalah segalanya namun lagi-lagi saya harus bingung. Konon, cinta yang benar akan membuat orang melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak mungkin untuk dilakukan, kedahsyatan cinta memang tidak bisa diukur dengan standar yang jelas. Namun getaran dan biasnya sangat membekas.
Bahkan, kita sendiripun adalah buah dari madu cinta yang telah melebur menjadi satu. Dengan cinta, bunga-bunga yang layu bisa kembali merona dan tersenyum. Denganya pula, kedahsyatan gelombang laut bisa begitu tenang dan pergerakan bumi yang dahsyat ini tidak terasa. Itulah lukisan cinta yang benar, yang tidak hanya menerima kesan kelembutan tapi juga kekerasan. Saya kembali teringat oleh perkataan salah seorang kawan yang sampai saat ini belum menemukan cinta-Nya. Ia berkata bahwa cinta itu bersifat temperamental dan temporal, ia datang tampa diminta dan ketika telah pergi, tangisan dan kesedihan sembilupun tak akan dapat mengembalikanya.
Lalu bagaimana nasib mahasiswi yang saat ini sedang dirundung asmara tadi?. Diam-diam saya suka membaca sebuah buku yang pada hakikatnya bertujuan mengobati secuil hati yang tergores ini. La Tahzan, karya monumental Aid al-Qarni. Betapa dengan hanya satu kata seseorang mampu merasakan kenikmatan dan kebahagiaan hidup. Yah bahagia… Bila saya di Jakarta saya ingin segera pergi ke Bundaran Indonesia dan serta merta memberhentikan beberapa mobil mewah dan bertanya, “apakah anda bahagia?.” Kemungkinan besar pemilik kendaraan mewah tersebut akan melongong dan mencoba menjawab walau pada akhirnya iapun gagal meyakinkan saya.
Begitupun dengan seorang Mahasiswi tadi, walaupun hati dan perasaannya dirundung duka yang mendalam tapi ia masih mencoba menyuguhkan senyum khas dan aksentuasi bicara bahagia. Ia sadar bahwa perindu itu akan mendapatkan kebahagiaan dengan kesadaran dan keridhaan yakni TULUS… Karena cinta; sebagaimana ciptaan Allah lainya, bukankah ia hanya amanah yang bisa diambil lagi oleh empunya sewaktu-waktu dan kapan saja…
Kalau seandainya saya bisa bertemu dengan mahasiswi tersebut saya akan katakan, Jadilah pecinta sesungguhnya!!! Jika saya bertanya, apakah Anda jatuh cinta, katakan saja iya, tetapi itu hanya karena satu-satunya cara untuk menolak kesengsaraan hati. Jika saya katakan, sudahkan Anda merasakan cinta yang sesungguhnya, maka katakanlah ya, tapi itu hanya bercanda saja karena kenikmatan yang abadi adalah ketika berdua dan merasakan kehadiran-Nya. Dan apabila saya katakan, jatuh cintakah Anda, maka katakan iya, tapi segeralah minta ampun agar yang tertuang adalah kebenaran dan keadilan.
Satu hal yang tidak bisa dihapus dari ingatan seorang pecinta adalah harapan. Saya kadang juga berfikir keras untuk menemukan jawaban ini. Hingga pada akhirnya saya merasa bahwa saya seperti orang sakit jiwa yang tidak menemukan realitas yang ada dalam angan-anganku. Dan secara tidak sadar itu adalah jawab tentang “HaRaPan” tadi. Lucunya, setiap kali saya berfikir tentang “harapan”, saya seolah benar-benar menjadi orang gila. Bagaimana saya bisa selalu tersenyum diatas bara yang menggores dinding hati dengan selalu bertasbih dan bershalawat dengan harapan-harapan yang jauh itu??? Bukankah saya sedang menambah luka diri dengan harapan-harapan yang tidak mungkin untuk diraih saat ini??? Mengapa saya tidak segera sadar dengan memberi kesempatan terluka, dan segera mengganti dengan harapan-harapan yang lebih pasti dan bisa dinikmati. Jika tidak salah mahasiswi tersebut juga sedang merasakan hal itu…
Saya membayangkan bila mahasiswi tersebut benar-benar merasakan hal itu maka akan lebih bijak bila ia selalu membasahi bibirnya dengan asma sifat-Nya. Ketika ia jauh berharap, ia menemukan Allah dalam dirinya dan ketika ia berdzikir ia menemukan dirinya dalam bimbingan Allah. Dan dalam kekuasaan-Nya, Allah Maha menyatukan, meskipun hamba hanya bisa berdoa.
Bila kini seorang mahasiswi cemerlang tadi sedang dilanda persoalan yang sedang mencari solusi, maka dizaman itu terlukis nama Fatimah al-Zahra yang telah membuktikan betapa kesabaran dan ketulusan telah ia sandang. Siapa yang tidak tahu bahwa ia adalah puteri kesayangan Muhammad SAW. Namun tidak ada yang masyhur tentang dirinya selain penderitaan dan keTulusannya. Wanita cerdas tersebut harus melihat dengan mata kepalanya sendiri ayahnya dilempari kotoran. Ia menikah dan hidup dalam kemiskinan yang sangat. Sementara itu, sekarang keterbatasan ekonomi menjadi kendala utama bagi penundaan perkawinan hingga retaknya rumah tangga dinisbahkan kepadanya. Fatimah dan Ali biasa berpuasa berhari-hari bersama untuk menyisakan makanan bagi kedua anaknya; Hasan dan Husein. Bahkan kedua tangan lembutnya sampai berdarah-darah karena digunakan untuk menggiling gandum.
Kita bisa saja berkata bahwa wajar bila Fatimah seteguh itu, karena ia dididik oleh tangan lembut dan hati jernih Rasululullah. Fatimah dididik untuk menemukan harga diri yang sesungguhnya, untuk bukan dengan bayaknya dayang-dayang dan uang yang didapat dari pemanfaatan kedudukan ayahnya. Dan tidak gampang memang menjadi istri seorang zaahid seperti Ali. Tidak ada kepastian finansial, tidak juga kepastian sang suami akan pulang dengan baik-baik atau syahid di medan perang. Namun itulah pasangan terbaik yang pernah ada. Namun Fatimah tetaplah seorang yang berbudi, ia tetap melakukan tugas-tugas domestiknya dengan baik.
Banyak cara untuk meneladani Fatimah. Suatu saat akan kukatakan kepada istriku dimalam pertama dengan memeluk dan berbisik mesra kepadanya. Berjuanglah seperti Fatimah… Ia mengerjakan tugas domestiknya termasuk mencuci, menyetrika, belanja dan memasak makanan sebagai tugas eksklusif ibu rumah tangga. Sedemikian eksklusifnya saya berharap, bantuan dari pasangan atau pembantu dianggap mengurangi nilai spiritual. Sedemikian eksklusifnya, beberapa kelompok lebih memilih mencarikan istri kedua bagi suaminya.
Namun akan segera saya katakan kepada istriku, Islam bukanlah agama yang berorientasi kepada kepemilikan, tapi amal. Maka apa faedah punya dua jika satu saja cukup membereskan persoalan dapur dan firash. Dalam konteks ini, sibuknya Fatimah sungguh luar biasa, mulai dari menggiling gandum hingga memasak, malahirkan, menyusui dan mengurus anak-anaknya tanpa mesin cuci canggih, penanak nasi otomatis dan semacamnya. Selain itu, iapun masih sempat melatih hati dan keihlasannya dengan memerdekakan budak, merelakan kalung; harta satu-satunya yang diambil fakir, sampai menundukkan egonya ketika bertengkar dengan suaminya. Ia masih tetap sibuk dengan dirinya. Berdzikir… Subhanallah, suami mana yang tidak bahagia dengan ketulusan dan ketaaan istrinya???
Saya merasa terhenyak oleh sikap dan perilaku temen saya yang usianya jauh lebih tua dari kedewasaanya. Seseorang yang matang, konon, adalah seorang yang telah mampu memetakan seluruh per-soalan, memperluas dan menimbang se-rangkaian pilihan serta merumuskan se-buah pemecahan dengan kemungkinan baik-buruk. Sayapun akhirnya harus ber-usaha keras untuk mengetahui posisi dan kedewasaan yang saya sandang. Rupanya tidak terlau salah bila mahasiswi yang sedang jatuh cinta tadi juga malakukan hal yang sama. Usaha keras saya ini ternyata menemukan jawaban: “Saya tidak dapat memetakan cinta dalam diri saya ketika orang yang sangat saya cintai jauh dari saya dan entah kapan akan bertemu denganya”. Bila mahasiswi tadi melakukan usaha serupa, barangkali hasil yang ia capai sangat jauh berbeda dengan hasil yang saya capai, karena lagi-lagi tergantung kedewasaan. Apalagi jika ia mau melukiskan dirinya seperti Sayyidah Fatimah al-Zahra???
Mungkin telah tiba waktunya untuk menitipkan jalinan cinta ini kepada-Nya dengan sepenuh hati. Mulai saat ini aku sadar bahwa kebahagiaan yang paling abadi adalah ketika aku berdua dan merasakan kehadiran-Nya. Sholat-sholat panjangku kini mulai merindukan air mataku dan lantunan doa teriring air mata untuk jalinan cinta

The middle of nigh
Tripoli-Libya
2005-02-21

Tidak ada komentar: